Kaidah Ke. 16 : Al-Adl Itu Wajib Atas Segala Sesuatu Dan Al-Fadhl Itu Sunnah
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keenam Belas :
العَدْلُ وَاجِبٌ فِي كُلِّ شَيْءِ وَالْفَضْلُ مَسْنُوْنٌ
Al-‘Adl (Keadilan) Itu Wajib Atas Segala Sesuatu Dan Al-Fadhl (Tambahan) Itu Sunnah
Sebelum membahas implementasi dan contoh penerapan kaidah ini, kita perlu memahami tentang makna al-‘adl dan al-fadhl. Yang dimaksud dengan al-‘adl ialah jika seseorang menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan sebagaimana ia menuntut apa yang menjadi haknya. Sedangkan al-fadhl maknanya ialah seseorang berbuat ihsân sejak awal atau memberikan tambahan dari yang wajib ia tunaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقْسِطُواْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-Hujurât/49:9]
Demikian pula Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. [an-Nahl/16:126]
Implementasi dan contoh penerapan kidah ini cukup banyak dalam syari’at ini, baik berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah. Hal itu dapat kita ketahui dari contoh-contoh berikut :
1. Apabila seseorang berbuat jahat kepada orang lain, maka orang yang dikenai kejahatan diperbolehkan untuk membalas kejahatan tersebut dengan balasan yang seimbang, inilah makna al-‘adl (keadilan). Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. [asy-Syûrâ/42:40]
Namun demikian, Allah Azza wa Jalla menganjurkan orang yang terkena kejahatan untuk memberi maaf atas kejahatan tersebut, inilah makna al-fadhl (tambahan). Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla pada kelanjutan ayat tersebut:
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. [asy-Syûrâ/42:40]
2. Berkaitan dengan akad hutang piutang, maka orang yang menghutangi boleh menagih dan menerima pelunasan harta apabila orang yang berhutang memang mempunyai kemampuan untuk membayar hutangnya ketika jatuh tempo pembayarannya. Namun, apabila ternyata belum mampu untuk membayar, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan supaya orang yang berhutang diberi tangguh sehingga pembayarannya bisa ditunda. Inilah makna al-‘adl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. [al-Baqarah/2:280]
Namun demikian, jika orang yang menghutangi mau bersedekah dan menganggap lunas hutang tersebut, maka itulah yang paling utama. Inilah makna al-fadhl dan hukumnnya sunnah. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَأَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَكُمْ
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu. [al-Baqarah2:280]
3. Apabila seseorang menjadi pengasuh anak yatim, maka ia diperbolehkan untuk makan dan minum bersama-sama anak yatim tersebut dengan harta yang dicampurkan dari hartanya dan harta anak yatim. Inilah makna al-‘adl. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. [al-Baqarah/2:220]
Namun, apabila pengasuh anak yatim tersebut berhati-hati dan memberikan makan dan minum kepada anak yatim tersebut dengan hartanya sendiri, maka inilah al-fadhl.
4. Di dalam al-Qur’ân telah ditetapkan hukum qishâs. Yang mana jika seseorang melakukan pembunuhan, maka keluarga korban berhak menuntut supaya si pembunuh dihukum bunuh pula. Demikian pula jika seseorang mencederai anggota badan orang lain, seperti mata, telinga, atau selainnya maka ada hukum qishâs di sana. Inilah makna al-‘adl. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَاْلأَنْفَ بِاْلأَنْفِ وَاْلأُذُنَ بِاْلأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌ
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishâsnya. [al-Mâidah/5:45]
Namun demikian, apabila keluarga korban atau orang yang dicederai tersebut memberi ma’af, maka itu adalah perkara mulia yang dianjurkan. Inilah makna al-fadhl. Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishâs) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. [al-Mâidah/5:45]
5. Pada asalnya, mengucapkan perkataan yang buruk adalah dilarang. Namun, apabila seseorang dizhalimi oleh orang lain, maka dalam hal ini diperbolehkan baginya untuk mengucapkan perkataan yang buruk kepada orang yang menzhaliminya, inilah makna al-‘adl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. [an-Nisâ’/4:148]
Dalam hal ini, apabila ia menolak kezhaliman tersebut dengan cara yang lebih baik dan tidak mengucapkan perkataan yang buruk maka itulah yang dianjurkan, dan inilah makna al-‘fadhl. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلاَ تَسْتَوِيْ الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [Fusshilat/41:34]
6. Berkaitan dengan ibadah wudhu, shalat, puasa, haji, dan selainnya. Ibadah-ibadah tersebut ada dua kemungkinan pelaksanaan. Ada kemungkinan dilaksanakan secara mujzi’ (sekedar cukup untuk menggugurkan kewajiban), yaitu jika ibadah-ibadah tersebut dilaksanakan dengan mencukupkan pada perkara-perkara yang wajib di dalamnya saja. Inilah makna al-‘adl. Dan ada kalanya dilaksanakan secara kâmil (sempurna), yaitu jika ibadah-ibadah tersebut dilaksanakan dengan menyempurnakan perkara-perkara yang wajib sekaligus perkara-perkara yang sunnah di dalamnya. Inilah makna al-fadhl.
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui tentang tiga golongan manusia, yaitu :
1. Al-Munshifîn (orang-orang yang berbuat adil), yaitu orang-orang yang berkomitmen dalam melaksanakan al-‘adl.
2. As-Sâbiqîn (orang-orang yang bersegera berbuat kebaikan), yaitu orang-orang yang berkomitmen dalam melaksanakan al-fadhl.
3. Azh-Zhâlimîn (orang-orang yang berbuat zhalim), yaitu orang-orang yang berada di bawah kedua golongan di atas. Wallâhu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2517-kaidah-ke-16-al-adl-keadilan-itu-wajib-atas-segala-ssesuatu-dan-al-fadhl-tambahan-itu-sunnah.html